- KONSEP
DASAR EKONOMI SYARIAH
Keuangan
mikro syariah mulai semakin populer dan menjadi model dalam mengentaskan
kemiskinan khususnya di negara berkembang di seluruh indonesia. Industri keuangan
islam secara keseluruhan diperkirakan akan mencapai lebih dari $2 miliar dolar
pada tahun 2012 dan merupakan sektor yang terus berkembang karena
prinsip-prinsip etika dan larangan bunga. Konsep keuangan mikro syariah
menganut prinsip-prinsip Islam dan merupakan bentuk investasi yang memiliki
tanggung jawab sosial. Investor yang menggunakan kekayaan mereka untuk
proyek-proyek keuangan mikro syariah hanya melibatkan diri dalam proyek-proyek
halal. Proyek-proyek tersebut termasuk zakat, amal yang didasarkan, atau
proyek-proyek perdagangan dan industri untuk mengembangkan perekonomian suatu
negara. Mekanisme pinjaman dalam keuangan mikro syariah berbeda dengan
konvensional yaitu dikarenakan larangan riba. tidak seperti keuangan mikro
konvensional, keuangan mikro syariah menawarkan cara yang bebas bunga untuk
memberikan pinjaman kepada orang miskin dan yang membutuhkan. salah satu akad
yang digunakan dalam isntrumen keuangan islam adalam Qordul hasan, yaitu
pinjaman yang telah diperpanjang oleh pemberi pinjaman atas dasar niat baik dan
peminjam hanya membayarkan jumlah yang tepat sesuai dengan pinjamannya tanpa
biaya tambahan atau bunga.
Pada
saat kemiskinan masih lazim di seluruh dunia, tidak ada solusi yang lebih baik
daripada memilih untuk pendanaan yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat
miskin dan membantu untuk membangun kembali ekonomi.
Keuangan
mikro syariah memberikan investor kesempatan untuk terlibat dalam proyek-proyek
berharga yang pada dasarnya dapat memainkan peran penting dalam penargetan
kemiskinan dan menguranginya di banyak negara di dunia.Keuangan mikro syariah
terutama bergantung pada penyediaan jasa keuangan di daerah miskin atau
berkembang yang sesuai dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh hukum
Islam. Ini merupakan penggabungan dari dua sektor yang tumbuh: keuangan mikro
dan industri keuangan Islam. Keuangan Mikro Islam memiliki potensi tidak hanya
menjadi solusi untuk peningkatan kesejahteraan orang miskin tetapi juga untuk
menggabungkan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial Islam merawat orang yang
kurang beruntung dengan kemampuan keuangan mikro untuk menyediakan akses
keuangan kepada orang miskin.
Sementara
kemiskinan di dunia Islam tersebar luas, salah satunya adalah Negara Somalia.
Bencana kelaparan yang melanda Somalia pada bulan Juli 2011 mengakibatkan
krisis pangan terburuk yang dihadapi Afrika sejak 20 tahun. PBB telah
menegaskan bahwa kelaparan memang ada di dua wilayah Somalia selatan, Southern
Bakool dan Lower Shabelle. Di seluruh negeri, hampir setengah dari penduduk
Somalia, yang saat ini 3,7 juta orang, kini mengalami krisis makanan, tempat
tinggal kemiskinan, dan kekurangan gizi. Namun, jika penduduk Somalia memiliki
lebih banyak akses ke layanan keuangan, maka mereka akan mampu membangun
ekonomi mereka dan mendapatkannya kembali kesejahteraan hidup. Sayangnya,
pilihan jasa keuangan yang baik untuk mengurangi kemiskinan di Afrika Timur
tidak cukup memadai atau eksklusif.
- KARAKTERISTIK
EKONOMI SYARIAH
Agama Islam memandang bahwa semua
bentuk kegiatan ekonomi adalah bagian dari mu’amalah. Sedangkan mu’amalah
termasuk bahagian dari syari’ah, salah satu sisi dari bagian mata uang, satu
dengan yang lain tidak dapat dipisahkan: aqidah dan akhlaq. Dalam kaitan ini
Allah SWT. memberi tamsil tentang hubungan yang tak terpisahkannya ketiga
ajaran pokok Islam itu dalam firman-Nya:
Karakteristik terpenting yang
membedakan antara sistem ekonomi syari’ah dan ekonomi konvensional adalah bahwa
ekonomi syari’ah tidak dapat dipisahkan dengan aqidah, syari’ah dan akhlaq. Dalam
praktiknya, sistem ekonomi syari’ah dimanifestasikan dalam kegiatan perekonomian
yang menjunjung tinggi dan dibingkai oleh akhlak yang terpuji. Hanya dengan
menjunjung tinggi akhlak yang terpuji (al-akhlaaq al-kariimah) kebaikan,
kemaslahatan dan kesejahteraan manusia akan terwujud. Mendidik dan menegakkan
akhlak yang terpuji inilah yang menjadi misi utama dari risalah kenabian
Muhammad SAW. “ Sesungguhnya tidaklah aku diutus, melainkan untuk
menyempurnakan akhlak. ”
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
Islam sama sekali tidak memperkenankan semua pemeluknya untuk melakukan
kegiatan ekonomi yang mengabaikan dan menyimpang dari kemuliaan dan keutamaan
yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya.
Karakteristik Utama Ekonomi Islam
Islam sebagai agama wahyu merupakan
sumber pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, seluruh
aktivitas yang dilakukan dalam bidang ekonomi Islam mengutamakan metode
pendekatan sistem nilai sebagaimana yang tercantum dalam sumber-sumber hukum
Islam yang berupa Al Quran, Sunnah, Ijma dan Ijtihad.
Sistem nilai tersebut diharapkan
dapat membentuk suatu sistem ekonomi Islam yang mampu mengentaskan kehidupan
manusia dari ancaman pertarungan serta timbulnya perpecahan akibat adanya
persaingan dan kegelisahan yang menyebabkan keserakahan sebagai bentuk krisis
dari sistem ekonomi kapitalis dan sosialistik (Muhamad, 2000 : 14-16). Islam
menginginkan suatu ekonomi pasar yang dilandaskan pada nilai-nilai moral.
Segala kegiatan ekonomi harus berdasarkan pada prinsip kerjasama dan prinsip
tanggung jawab.
- SISTEM
EKONOMI SYARIAH
Merupakan ilmu pengetahuan sosial
yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai
Islam. Ekonomi syariah atau sistim ekonomi koperasi berbeda dari kapitalisme,
sosialisme, maupun negara kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari
kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap
buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam
kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki
dimensi.
Tidak banyak yang dikemukakan dalam
Al Qur’an, dan hanya prinsip-prinsip yang mendasar saja. Karena alasan-alasan
yang sangat tepat, Al Qur’an dan Sunnah banyak sekali membahas tentang
bagaimana seharusnya kaum Muslim berprilaku sebagai produsen, konsumen dan
pemilik modal, tetapi hanya sedikit tentang sistem ekonomi. Sebagaimana
diungkapkan dalam pembahasan diatas, ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha. Selain itu, ekonomi
syariah menekankan empat sifat, antara lain:
1. Kesatuan (unity)
2. Keseimbangan (equilibrium)
3. Kebebasan (free will)
4. Tanggungjawab (responsibility)
- SEJARAH
LEMBAGA EKONOMI SYARIAH
Ketika Muhammad diangkat menjadi
nabi dan rasul, beliau pun tetap melakukan sistem perdagangan yang jujur,
transparan, terbuka dan berkeadilan. Sistem perdagangan ini masih dilakukan
secara pribadi dan kekeluargaan, belum melembaga dalam sebuah sistem
terstruktur.
Karena itu, di zaman beliau belum
ada sebuah lembaga keuangan Islam yang mengatur sistem perdagangan secara
sistematis, kecuali selalu merujuk pada ajaran al-Qur’an. Beliau senantiasa
mempraktekan sistem perdagangan dengan tujuan membantu kaum yang lemah (fakir
miskin).
Sistem
lembaga keuangan yang diterapkan oleh khalifah Umar bin Khattab RA ini
diteruskan oleh ke-Khalifah-an Islam, dana baitul maal tersebut juga
banyak dipergunakan untuk memerdekakan budak. Sehingga baitul maal ini
memiliki peran besar dalam menghapus sistem perbudakan di wilayah kekuasaan
Islam.
Pada era imperialisme Barat, praktik
lembaga keuangan Islam, seperti baitul maal, masih diteruskan umat Islam
dalam kelompok-kelompok kecil, misalnya di masjid dan lembaga umat lainnya.
Bahkan, pada pertengahan abad 19, praktik lembaga keuangan yang serupa dengan baitul
maal dikembangkan dalam skala yang lebih besar dan cakupannya luas, yakni
berupa lembaga perbankan Syari’ah.
- OPERASIONAL LEMBAGA EKONOMI SYARIAH
Bank di Indonesia terbagi menjadi dua,
yaitu bank syariah dan bank konvensional. Menurut UU RI No.7 Tahun 1992 Bab I pasal 1 ayat 1, “Bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam rangka meningkatkaan taraf hidup rakyat banyak”. Perbankan syariah atau Perbankan
Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah
(hukum) islam. Usaha pembentukan sistem perbankan syariah ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut
maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan
investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (usaha yang berkaitan
dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami, dll), dimana hal ini tidak dijamin
oleh sistem perbankan konvensional.
Di Indonesia perbankan syariah
dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia, dan hingga tahun 2007 sudah terdapat 3 institusi bank syariah
di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega
Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah
19 bank, diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia
(Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Sistem syariah juga telah
digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR
Syariah. Keberadaan
Bank Syariah di Indonesia telah di atur
dalam UU No.10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No.7 tahun
1992 tentang Perbankan. Sementara itu, Bank Konvensional adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional.
Pertama – tama akan kita bahas tentang persamaan dari kedua
bank tersebut, yakni
ada persamaan dalam hal sisi teknis penerimaan uang, persamaan dalam hal
mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan maupun dalam hal syarat-syarat
umum untuk mendapat pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan
dan sebagainya. Dalam hal persamaan ini semua kegiatan yang
dijalankan pada Bank
Syariah itu sama persis dengan yang dijalankan pada Bank Konvensional, dan nyaris tidak ada bedanya.
Selanjutnya,
mengenai perbedaannya, antara lain meliputi aspek akad dan legalitas, struktur organisasi,
usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja. Yang pertama tentang akad dan
legalitas, yang
merupakan kunci utama yang membedakan antara bank syariah dan bank
konvensional. “innamal a’malu bin niat”, sesungguhnya setiap amalan itu
bergantung dari niatnya. Dan dalam hal ini bergantung dari aqadnya.
Perbedaannya untuk aqad-aqad yang berlangsung pada bank syariah ini hanya aqad
yang halal, seperti bagi hasil, jual beli atau sewa – menyewa. Tidak ada unsur riba’
dalam bank syariah ini, justru menerapkan sistem bagi hasil dari keuntungan
jasa atas transaksi riil.
Perbedaan selanjutnya yaitu dalam hal struktur organisasi
bank. Dalam bank syariah ada keharusan untuk memiliki Dewan Pengawas Syariah
(DPS) dalam struktur organisasinya. DPS ini bertugas untuk mengawasi
operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
DPS biasanya ditempatkan pada posisi setingkat dengan dewan komisaris. DPS ini
ditetapkan pada saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) setiap tahunnya. Semenjak
tahun 1997, seiring dengan pesatnya perkembangan bank syariah di Indonesia, dan
demi menjaga agar para DPS di setiap bank benar-benar tetap konsisten pada
garis-garis syariah, maka MUI membentuk sebuah lembaga otonom untuk lebih fokus
pada ekonomi syariah dengan membentuk Dewan Syariah Nasional.
Penanganan resiko usaha, Bank Syariah
menghadapi resiko yang terjadi secara bersama antara bank dan nasabah. Dalam
sistem Bank Syariah, tidak mengenal negative spread (selisih negatif).
Sedangkan pada Bank Konvensional, resiko yang dialami bank tidak ada kaitannya
dengan resiko debitur dan sebaliknya. Antara pendapatan bunga dengan beban
bunga dimungkinkan terjadi negative spread (selisih negatif) dalam sistem Bank
Konvensional.
Kemudian
perbedaan lainnya adalah pada lingkungan kerja Bank Syariah. Sekali-sekali cobalah
kunjungi Bank Syariah, pasti ketika kita memasuki
kantor bank tersebut ada nuansa tersendiri. Nuansa yang diciptakan untuk lebih
bernuansa islami. Mulai dari cara berpakaian, beretika dan bertingkahlaku dari
para karyawannya. Nuansa yang dirasakan memang berbeda, lebih sejuk dan
lebih islami.
Perbedaan
utama yang paling mencolok antara Bank Syariah dan Bank Konvensional yakni pembagian keuntungan. Bank Konvensional sepenuhnya menerapkan
sistem bunga atau riba. Hal ini karena kontrak yang dilakukan bank sebagai
mediator penabung dengan peminjam dilakukan dengan penetapan bunga. Karena
nasabah telah mempercayakan dananya, maka bank harus menjamin pengembalian
pokok beserta bunganya. Selanjutnya keuntungan bank adalah selisih bunga antara
bunga tabungan dengan bunga pinjaman. Jadi para penabung mendapatkan keuntungan
dari bunga tanpa keterlibatan langsung dalam usaha. Demikian juga pihak bank tak ikut merasakan
untung rugi usaha tersebut.
Hal
yang sama tak berlaku di Bank Syariah.
Dana masyarakat yang disimpan di bank disalurkan kepada para peminjam untuk
mendapatkan keuntungan Hasil keuntungan akan dibagi antara pihak penabung dan
pihak bank sesuai perjanjian yang disepakati. Namun bagi hasil yang dimaksud
adalah bukan membagi keuntungan atau kerugian atas pemanfaatan dana tersebut.
Keuntungan dan kerugian dana nasabah yang dioperasikan sepenuhnya menjadi hak
dan tanggung jawab dari bank. Penabung tak memperoleh imbalan dan tak
bertanggung jawab jika terjadi kerugian. Bukan berarti penabung gigit jari tapi
mereka mendapat bonus sesuai kesepakatan.
Dari
perbandingan itu terlihat bahwa dengan sistem riba pada Bank Konvensional penabung akan menerima
bunga sebesar ketentuan bank. Namun pembagian bunga tak terkait dengan
pendapatan bank itu sendiri. Sehingga berapapun pendapatan bank, nasabah hanya
mendapatkan keuntungan sebesar bunga yang dijanjikan saja. Sekilas perbedaan itu
memperlihatkan di Bank
Syariah nasabah mendapatkan
keuntungan bagi hasil yang jumlahnya tergantung pendapatan bank. Jika
pendapatan Bank
Syariah naik maka makin besar pula
jumlah bagi hasil yang didapat nasabah. Ketentuan ini juga berlaku jika bank
mendapatkan keuntungan sedikit.