PEMBERDAYAAN EKONOMI DALAM ISLAM
Secara
ideal, yakni sesuai dengan ajaran islam sebenarnya, islam pada hakekatnya
mengajak umatnya untuk mencapai kemajuan, prestasi, dan kompetisi sehat. Begitu
pula dalam masalah ekonomi, perilaku manusia yang bisa mengakibatkan
ketidakberdayaan di bidang ekonomi sangat bertentangan dengan semangat kerja
yang dianjurkan oleh islam. Islam menganjurkan agar manusia memanfaatkan
potensi dirinya ( Sumber Daya Manusia) dan potensi alam (Sumber Daya Alam)
dalam bekerja. Pemanfaatan potensi diri semaksimal mungkin dalam bekerja akan
membawa kepada keberdayaan ekonomi manusia sehingga mereka menjadi kelompok
yang kuat (berdaya), kelompok yang di sukai oleh Allah. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW :
“
Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, yang kaya serta tersembunyi
(tidak diketahui orang lain). “
Oleh
karena itu, keberdayaan ekonomi masyarakat merupakan kondisi yang diharapkan,
yang mana titik beratnya adalah tercapainya kesejahteraan manusia (QS.
Al-Baqarah : 21). Aspek ekonomi ini sangat penting, bahkan dalam usul al-fiqih
ia termasuk salah satu dari lima aspek yang dilindungi, yang terkenal dengan
al-umur al-daruriyahli al-nas yaitu : agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta
(al-Zuhaili, 1986:102). Hal ini sejalan dengan tujuan syari’ah yaitu hikmah dan
kemaslahatan manusia di dunia dan di akherat. Kemaslahatan ini terletak pada
keadilan, rahmat, kebahagiaan dan kebijaksanaan. Tindakan apapun yang bertentangan
dengan keadilan, dan merubah rahmat menjadi kesulitan, kesejahteraan menjadi
kesengsaraan dan hikmah menjadi kebodohan, maka semua itu tidaklah berhubungan
dengan syari’ah Islam (al-Jawziyah, 1993 : 11).
Dalam
al-Qur’an, banyak sekali ayat yang memerintahkan kita untuk berusaha semaksimal
mungkin dalam rangka pemberdayaan ekonomi, di antaranya dalam surat al-Jumu’ah
ayat 10 :
“
Apabila telah di tunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. “
HARTA BENDA
Dalam
ekonomi Islam, harta benda biasa diistilahkan dengan (al-Mal) yang secara
bahasa berarti condong, cenderung dan miring. Manusia cenderung ingin memiliki
dan menguasai harta. Sedangkan secara istilah, harta benda adalah :
“
Segala sesuatu yang bernilai dan mesti rusaknya dengan menguasainya. ”
1. Kedudukan Harta dalam Islam
Dalam
al-Qur’an maupun hadits, cukup banyak yang membicarakan tentang harta. Pada
bahasan ini hanya dikemukakan sebagaian kecil saja tentang kedudukan harta
menurut al-Qur’an dan Hadis. Di antaranya adalah :
1.
Harta sebagai fitnah
2.
Harta sebagai perhiasan hidup
3.
Harta untuk memenuhi kebutuhan dan
kesenangan
2. Fungsi Harta Benda dalam Islam
Fungsi
harta bagi kehidupan manusia sangat banyak. Harta bisa menunjang kegiatan
manusia, baik kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia
berusaha untuk memiliki dan menguasainya. Orang yang mencuri harta dengan cara
yang halal, biasanya menfungsikan hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat.
Secara
terperinci, suhendi (1997 : 28-30), mengemukakan fungsi harta sesuai dengan
syara’ sebagai berikut :
1.
Untuk kesempurnaan ibadah, baik
mahdhah (Individual) maupun ghairu mahdhah (sosial). Contoh, shalat memerlukan
kain untuk menutup aurat.
2.
Memelihara dan meningkatkan keimanan
dan ketaqwaan kepada Allah SWT, karena kefakiran bisa mendekatkan kepada
kekufuran.
3.
Membentuk generasi penerus yang
berkualitas, tidak lemah baik di bidang pendidikan maupun ekonomi.
4.
Menyelaraskan kehidupan dunia dan
kehidupan akherat yang merupakan perintah Allah SWT.
5.
Bekal mencari dan mengembangkan
keilmuan, karena bagaimanapun dalam mencari ilmu dibutuhkan biaya.
6.
Keharmonisan hidup bernegara dan
bermasyarakat, seperti orang kaya yang membuka lapangan pekerjaan bagi orang
yang membutuhkan.
3.
Klasifikasi
Harta Benda dalam Islam
1.
Ditinjau dari segi ada tidaknya
nilai dan perlindungan, harta benda dapat diklasifikasilkan menjadi harta
Mutaqawwim dan ghairu mataqawwim.
2.
Ditinjau dari segi bisa tidaknya
dipindahkan dari tempat asalnya, harta benda diklasifikasikan menjadi harta
uqar (tetap/tidak bergerak) dan manqul (harta benda).
3.
Ditinjau dari segi ada tidaknya
persamaan dengan harta benda lainnya, harta benda bisa diklasifikasikan menjadi
harta benda mitsly (harta benda yang ada persamaannya) dan qimy (harta benda
yang tidak ada persamaannya).
4.
Ditinjau dari segi kepemilikan,
harta benda diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu mamluk (harta benda yang telah
dimiliki oleh seseorang), mahjur (harta benda yang tidak boleh dimiliki), dan
mubah (harta benda bebas/boleh dimiliki).
5.
Ditinjau dari keberadaan harta benda
apakah berada di tangan sendiri atau dalam tanggungan orang lain, harta benda
diklasifikasikan menjadi harta ‘Ain (benda kongkrit) dan Dain (piutang).
6.
Ditinjau dari segi pemakaian, harta
benda diklasifikasikan menjadi harta benda istihlaky (sekali pakai) seperti
makanan, dan isti’maly (bisa dipakai beberapa kali) seperti pakaian, kebun,
tempat tidur, dan lain-lain.
AKAD TRANSAKSI
Secara
bahasa, akad berasal dari kata al-‘Aqdatu (sambungan) dan al-‘Ahdu (janji).
Sedangkan secara termonologi, akad bisa didefinisikan secara umum dan secara
khusus. Defini akad secara umum adalah :
“
segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri,
seperti wakaf, talak, dan pembebasan. Atau segala sesuatu yang pembetukannya
membutuhkan keinginan dua orang, seperti jual beli, perwakilan, dan gadai. ‘
Sedangkan
secara khusus, akad bisa didefinisikan :
“
perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang
berdampak pada objeknya. “ (al-Zuhaili, 1989, IV : 80-81)
Ijab
qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridlan
dalam berakad di antara dua orang atau lebih, sehingga terhindar dari suatu
ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Contoh ijab adalah pernyataan seorang
penjual : “saya telah menjual barang ini kepadamu”, atau “saya serahkan barang
ini kepadamu”. Sedangkan contoh qabul adalah ‘saya beli barangmu”, atau “saya
terima barangmu.
1.
Rukun dan Syarat Akad
Rukun
akad adalah sesuatu yang harus ada ketika terjadinya akad transaksi, yaitu
adanya al’aqid (orang yang berakad) contoh penjual dan pembeli, adanya ma’qud
‘alaih (barang atau harga), dan shighat (ijab qabul).
1.
Al-‘Aqid
(orang yang berakad)
Keberadaan
al-Aqid sangat penting karena tidak dapat dikatakan akad jika tidak ada aqid.
Begitu pula tidak akan terjadi ijab qabul bila tidak ada aqid.
2.
Ma’qud
‘alaih (barang atau harga)
Ma’qud
‘alaih adalah objek akad atau benda-benda yang dijadikan akad yang bentuknya
tampak dan membekas. Barang tersebut dapak berbentuk harta benda seperti barang
dagangan, atau berbentuk suatu kemanfaatan, seperti dalam masalah upah
mengupah.
Sedangkan
syarat Ma’qud ‘alaih adalah :
- Harus ada ketika akad
- Berupa barang mutaqawwim (mempunyai nilai)
- Barang yang diperbolehkan syara’
- Dapat diberikan pada waktu akad
- Diketahui oleh kedua belah pihak yang berakad
- Ma’qud ‘alaih harus suci
3.
Ijab Kabul
Shighat
/ijab kabul adalah keridlaan yang berasal dari kedua belah pihak yang berakad. Syarat
shighat/ijab kabul adalah :
- Ijab dan kabul harus jelas maksudnya sehingga dipahami oleh pihak yang melangsungkan akad.
- Antara ijab dan kabul harus sesuai
- Antara ijab dan kabul harus bersambung dan berada di tempat yang sama jika kedua pihak hadir, atau berada di tempat yang berbeda tetapi sudah diketahui oleh keduanya.
2.
Metode
Shighat (IJAB QABUL)
Menurut
al-Zuhaili (1989, IV : 94), shighat/ijab kabul dapat dilakukan dengan
menggunakan metode lafadh (ucapan), perbuatan,isyarat dan tulisan.
1.
Shighat dengan Lafadh (ucapan)
Shighat
dengan ucapan ini tidak disyaratkan harus menggunakan bahasa tertentu, yang
penting kedua pihak harus mengerti ucapan masing-masing dan menunjukkan
keridlaannya.
2.
Shighat dengan Perbuatan
Shighat
dengan perbuatan ini dilakukan cukup dengan perbuatan yang menunjukkan saling
meridlai, misalnya penjual memberikan barang dan pembeli memberikan uang.
3.
Shighat dengan Tulisan
Diperbolehkan
akad dengan tulisan, baik bagi orang yang mampu berbicara ataupun tidak, dengan
syarat tulisan tersebut jelas, tampak dan dapat dipahami oleh kedua pihak.
4.
Shighat dengan Isyarat
Shighat
dengan isyarat ini dilakukan bagi mereka yang tidak dapat berbicara, boleh
menggunakan isyarat, tetapi jika tulisannya bagus, dianjurkan menggunakan
tulisan.
KERJASAMA DALAM BIDANG EKONOMI
Sebagaimana
diajarkan dalam islam, bahwa keberdayaan ekonomi adalah hal yang penting bagi
kehidupan kita untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu,
dalam ekonomi islam juga diajarkan bentuk-bentuk kerjasama dalam bidang
ekonomi.
Diantara
sekian banyak kerjasama yang diajarkan dalam islam adalah musyarakah/syirkah
dan mudharabah/qiradh.
1.
Musyarakah
/ syirkah
Musyarakah
adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu,
dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau pekerjaan dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan. (Ibnu Rusyd, 1988 : 253-257).
Secara
umum, musyarakah ada dua jenis, yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah akad
(kontrak).
Musyarakah
pemilikan terjadi karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang
mengakibatkan pemilikan satu asset oleh dua orang atau lebih. Sedangkan
musyarakah akad terjadi dengan cara kesepakatan antara dua orang atau lebih
yang masing-masing di antara mereka memberikan modal, dan merekapun sepakat
berbagikeuntungan dan kerugian.
2.
Mudharabah
/ qiradh
Mudharabah
adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul
mal) menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola.
Keuntungan
usaha mudharabah dibagi sesuai dengan kesepakatan bagi hasil (nisbah) yang
dituangkan dalam kontrak. Sedangkan apabila terjadi kerugian, maka ditanggung
oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan disebabkan kecurangan atau kelalaian
pengelola. Apabila kerugian itu disebabkan kelalaian pengelola, maka
pengelolalah yang harus bertanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar