Minggu, 11 November 2012

Perekonomian syari'ah


- KONSEP DASAR EKONOMI SYARIAH

Keuangan mikro syariah mulai semakin populer dan menjadi model dalam mengentaskan kemiskinan khususnya di negara berkembang di seluruh indonesia. Industri keuangan islam secara keseluruhan diperkirakan akan mencapai lebih dari $2 miliar dolar pada tahun 2012 dan merupakan sektor yang terus berkembang karena prinsip-prinsip etika dan larangan bunga. Konsep keuangan mikro syariah menganut prinsip-prinsip Islam dan merupakan bentuk investasi yang memiliki tanggung jawab sosial. Investor yang menggunakan kekayaan mereka untuk proyek-proyek keuangan mikro syariah hanya melibatkan diri dalam proyek-proyek halal. Proyek-proyek tersebut termasuk zakat, amal yang didasarkan, atau proyek-proyek perdagangan dan industri untuk mengembangkan perekonomian suatu negara. Mekanisme pinjaman dalam keuangan mikro syariah berbeda dengan konvensional yaitu dikarenakan larangan riba. tidak seperti keuangan mikro konvensional, keuangan mikro syariah menawarkan cara yang bebas bunga untuk memberikan pinjaman kepada orang miskin dan yang membutuhkan. salah satu akad yang digunakan dalam isntrumen keuangan islam adalam Qordul hasan, yaitu pinjaman yang telah diperpanjang oleh pemberi pinjaman atas dasar niat baik dan peminjam hanya membayarkan jumlah yang tepat sesuai dengan pinjamannya tanpa biaya tambahan atau bunga.
Pada saat kemiskinan masih lazim di seluruh dunia, tidak ada solusi yang lebih baik daripada memilih untuk pendanaan yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat miskin dan membantu untuk membangun kembali ekonomi.
Keuangan mikro syariah memberikan investor kesempatan untuk terlibat dalam proyek-proyek berharga yang pada dasarnya dapat memainkan peran penting dalam penargetan kemiskinan dan menguranginya di banyak negara di dunia.Keuangan mikro syariah terutama bergantung pada penyediaan jasa keuangan di daerah miskin atau berkembang yang sesuai dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh hukum Islam. Ini merupakan penggabungan dari dua sektor yang tumbuh: keuangan mikro dan industri keuangan Islam. Keuangan Mikro Islam memiliki potensi tidak hanya menjadi solusi untuk peningkatan kesejahteraan orang miskin tetapi juga untuk menggabungkan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial Islam merawat orang yang kurang beruntung dengan kemampuan keuangan mikro untuk menyediakan akses keuangan kepada orang miskin.
Sementara kemiskinan di dunia Islam tersebar luas, salah satunya adalah Negara Somalia. Bencana kelaparan yang melanda Somalia pada bulan Juli 2011 mengakibatkan krisis pangan terburuk yang dihadapi Afrika sejak 20 tahun. PBB telah menegaskan bahwa kelaparan memang ada di dua wilayah Somalia selatan, Southern Bakool dan Lower Shabelle. Di seluruh negeri, hampir setengah dari penduduk Somalia, yang saat ini 3,7 juta orang, kini mengalami krisis makanan, tempat tinggal kemiskinan, dan kekurangan gizi. Namun, jika penduduk Somalia memiliki lebih banyak akses ke layanan keuangan, maka mereka akan mampu membangun ekonomi mereka dan mendapatkannya kembali kesejahteraan hidup. Sayangnya, pilihan jasa keuangan yang baik untuk mengurangi kemiskinan di Afrika Timur tidak cukup memadai atau eksklusif.


- KARAKTERISTIK EKONOMI SYARIAH

Agama Islam memandang bahwa semua bentuk kegiatan ekonomi adalah bagian dari mu’amalah. Sedangkan mu’amalah termasuk bahagian dari syari’ah, salah satu sisi dari bagian mata uang, satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan: aqidah dan akhlaq. Dalam kaitan ini Allah SWT. memberi tamsil tentang hubungan yang tak terpisahkannya ketiga ajaran pokok Islam itu dalam firman-Nya:
Karakteristik terpenting yang membedakan antara sistem ekonomi syari’ah dan ekonomi konvensional adalah bahwa ekonomi syari’ah tidak dapat dipisahkan dengan aqidah, syari’ah dan akhlaq. Dalam praktiknya, sistem ekonomi syari’ah dimanifestasikan dalam kegiatan perekonomian yang menjunjung tinggi dan dibingkai oleh akhlak yang terpuji. Hanya dengan menjunjung tinggi akhlak yang terpuji (al-akhlaaq al-kariimah) kebaikan, kemaslahatan dan kesejahteraan manusia akan terwujud. Mendidik dan menegakkan akhlak yang terpuji inilah yang menjadi misi utama dari risalah kenabian Muhammad SAW. “ Sesungguhnya tidaklah aku diutus, melainkan untuk menyempurnakan akhlak. ”
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Islam sama sekali tidak memperkenankan semua pemeluknya untuk melakukan kegiatan ekonomi yang mengabaikan dan menyimpang dari kemuliaan dan keutamaan yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya.

Karakteristik Utama Ekonomi Islam
Islam sebagai agama wahyu merupakan sumber pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, seluruh aktivitas yang dilakukan dalam bidang ekonomi Islam mengutamakan metode pendekatan sistem nilai sebagaimana yang tercantum dalam sumber-sumber hukum Islam yang berupa Al Quran, Sunnah, Ijma dan Ijtihad.
Sistem nilai tersebut diharapkan dapat membentuk suatu sistem ekonomi Islam yang mampu mengentaskan kehidupan manusia dari ancaman pertarungan serta timbulnya perpecahan akibat adanya persaingan dan kegelisahan yang menyebabkan keserakahan sebagai bentuk krisis dari sistem ekonomi kapitalis dan sosialistik (Muhamad, 2000 : 14-16). Islam menginginkan suatu ekonomi pasar yang dilandaskan pada nilai-nilai moral. Segala kegiatan ekonomi harus berdasarkan pada prinsip kerjasama dan prinsip tanggung jawab.
- SISTEM EKONOMI SYARIAH

Merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah atau sistim ekonomi koperasi berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi.
Tidak banyak yang dikemukakan dalam Al Qur’an, dan hanya prinsip-prinsip yang mendasar saja. Karena alasan-alasan yang sangat tepat, Al Qur’an dan Sunnah banyak sekali membahas tentang bagaimana seharusnya kaum Muslim berprilaku sebagai produsen, konsumen dan pemilik modal, tetapi hanya sedikit tentang sistem ekonomi. Sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan diatas, ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha. Selain itu, ekonomi syariah menekankan empat sifat, antara lain:
1. Kesatuan (unity)
2. Keseimbangan (equilibrium)
3. Kebebasan (free will)
4. Tanggungjawab (responsibility)

- SEJARAH LEMBAGA EKONOMI SYARIAH

Ketika Muhammad diangkat menjadi nabi dan rasul, beliau pun tetap melakukan sistem perdagangan yang jujur, transparan, terbuka dan berkeadilan. Sistem perdagangan ini masih dilakukan secara pribadi dan kekeluargaan, belum melembaga dalam sebuah sistem terstruktur.
Karena itu, di zaman beliau belum ada sebuah lembaga keuangan Islam yang mengatur sistem perdagangan secara sistematis, kecuali selalu merujuk pada ajaran al-Qur’an. Beliau senantiasa mempraktekan sistem perdagangan dengan tujuan membantu kaum yang lemah (fakir miskin).
Sistem lembaga keuangan yang diterapkan oleh khalifah Umar bin Khattab RA ini diteruskan oleh ke-Khalifah-an Islam, dana baitul maal tersebut juga banyak dipergunakan untuk memerdekakan budak. Sehingga baitul maal ini memiliki peran besar dalam menghapus sistem perbudakan di wilayah kekuasaan Islam.
Pada era imperialisme Barat, praktik lembaga keuangan Islam, seperti baitul maal, masih diteruskan umat Islam dalam kelompok-kelompok kecil, misalnya di masjid dan lembaga umat lainnya. Bahkan, pada pertengahan abad 19, praktik lembaga keuangan yang serupa dengan baitul maal dikembangkan dalam skala yang lebih besar dan cakupannya luas, yakni berupa lembaga perbankan Syari’ah.


- OPERASIONAL LEMBAGA EKONOMI SYARIAH

Bank di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu bank syariah dan bank konvensional. Menurut UU RI No.7 Tahun 1992 Bab I pasal 1 ayat 1, “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkaan taraf hidup rakyat banyak. Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem perbankan syariah ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami, dll), dimana hal ini tidak dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Di Indonesia perbankan syariah dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia, dan hingga tahun 2007 sudah terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank, diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. Keberadaan Bank Syariah di Indonesia telah di atur dalam UU No.10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan. Sementara itu, Bank Konvensional adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional.
Pertama – tama akan kita bahas tentang persamaan dari kedua bank tersebut, yakni ada persamaan dalam hal sisi teknis penerimaan uang, persamaan dalam hal mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan maupun dalam hal syarat-syarat umum untuk mendapat pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan dan sebagainya. Dalam hal persamaan ini semua kegiatan yang dijalankan pada Bank Syariah itu sama persis dengan yang dijalankan pada Bank Konvensional, dan nyaris tidak ada bedanya.
Selanjutnya, mengenai perbedaannya, antara lain meliputi aspek akad dan legalitas, struktur organisasi, usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja. Yang pertama tentang akad dan legalitas, yang merupakan kunci utama yang membedakan antara bank syariah dan bank konvensional. “innamal a’malu bin niat”, sesungguhnya setiap amalan itu bergantung dari niatnya. Dan dalam hal ini bergantung dari aqadnya. Perbedaannya untuk aqad-aqad yang berlangsung pada bank syariah ini hanya aqad yang halal, seperti bagi hasil, jual beli atau sewa – menyewa. Tidak ada unsur riba’ dalam bank syariah ini, justru menerapkan sistem bagi hasil dari keuntungan jasa atas transaksi riil.
Perbedaan selanjutnya yaitu dalam hal struktur organisasi bank. Dalam bank syariah ada keharusan untuk memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasinya. DPS ini bertugas untuk mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. DPS biasanya ditempatkan pada posisi setingkat dengan dewan komisaris. DPS ini ditetapkan pada saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) setiap tahunnya. Semenjak tahun 1997, seiring dengan pesatnya perkembangan bank syariah di Indonesia, dan demi menjaga agar para DPS di setiap bank benar-benar tetap konsisten pada garis-garis syariah, maka MUI membentuk sebuah lembaga otonom untuk lebih fokus pada ekonomi syariah dengan membentuk Dewan Syariah Nasional.
Penanganan resiko usaha, Bank Syariah menghadapi resiko yang terjadi secara bersama antara bank dan nasabah. Dalam sistem Bank Syariah, tidak mengenal negative spread (selisih negatif). Sedangkan pada Bank Konvensional, resiko yang dialami bank tidak ada kaitannya dengan resiko debitur dan sebaliknya. Antara pendapatan bunga dengan beban bunga dimungkinkan terjadi negative spread (selisih negatif) dalam sistem Bank Konvensional.
Kemudian perbedaan lainnya adalah pada lingkungan kerja Bank Syariah. Sekali-sekali cobalah kunjungi Bank Syariah, pasti ketika kita memasuki kantor bank tersebut ada nuansa tersendiri. Nuansa yang diciptakan untuk lebih bernuansa islami. Mulai dari cara berpakaian, beretika dan bertingkahlaku dari para karyawannya. Nuansa yang dirasakan memang berbeda, lebih sejuk dan lebih islami.
Perbedaan utama yang paling mencolok antara Bank Syariah dan Bank Konvensional yakni pembagian keuntungan. Bank Konvensional sepenuhnya menerapkan sistem bunga atau riba. Hal ini karena kontrak yang dilakukan bank sebagai mediator penabung dengan peminjam dilakukan dengan penetapan bunga. Karena nasabah telah mempercayakan dananya, maka bank harus menjamin pengembalian pokok beserta bunganya. Selanjutnya keuntungan bank adalah selisih bunga antara bunga tabungan dengan bunga pinjaman. Jadi para penabung mendapatkan keuntungan dari bunga tanpa keterlibatan langsung dalam usaha. Demikian juga pihak bank tak ikut merasakan untung rugi usaha tersebut.
Hal yang sama tak berlaku di Bank Syariah. Dana masyarakat yang disimpan di bank disalurkan kepada para peminjam untuk mendapatkan keuntungan Hasil keuntungan akan dibagi antara pihak penabung dan pihak bank sesuai perjanjian yang disepakati. Namun bagi hasil yang dimaksud adalah bukan membagi keuntungan atau kerugian atas pemanfaatan dana tersebut. Keuntungan dan kerugian dana nasabah yang dioperasikan sepenuhnya menjadi hak dan tanggung jawab dari bank. Penabung tak memperoleh imbalan dan tak bertanggung jawab jika terjadi kerugian. Bukan berarti penabung gigit jari tapi mereka mendapat bonus sesuai kesepakatan.
Dari perbandingan itu terlihat bahwa dengan sistem riba pada Bank Konvensional penabung akan menerima bunga sebesar ketentuan bank. Namun pembagian bunga tak terkait dengan pendapatan bank itu sendiri. Sehingga berapapun pendapatan bank, nasabah hanya mendapatkan keuntungan sebesar bunga yang dijanjikan saja. Sekilas perbedaan itu memperlihatkan di Bank Syariah nasabah mendapatkan keuntungan bagi hasil yang jumlahnya tergantung pendapatan bank. Jika pendapatan Bank Syariah naik maka makin besar pula jumlah bagi hasil yang didapat nasabah. Ketentuan ini juga berlaku jika bank mendapatkan keuntungan sedikit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar